Pendakian merupakan topik yang selalu menarik untuk dibahas. Meskipun dianggap sebagai kegiatan yang ekstrem, para pendaki atau pecinta alam tetap bersemangat untuk mencapai puncak sebuah gunung. Kali ini, saya akan berbagi pengalaman yang penuh misteri saat mendaki Gunung Abang yang terletak di Desa Abangsongan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali.
Pengalaman Mistis Saat Mendaki di Gunung Abang
Dalam kesempatan ini, saya ingin berbagi pengalaman saat mendaki Gunung Abang. Gunung ini memiliki ketinggian 2.152 meter di atas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi ketiga di pulau Bali setelah Gunung Agung dan Gunung Batukaru.
Saya menggunakan motor untuk perjalanan menuju basecamp Gunung Abang yang memakan waktu satu jam setengah dari Denpasar bagian utara, tepatnya di JL. Nangka utara. Sesampainya di basecamp, saya langsung membayar administrasi seharga Rp 10.000 waktu itu.
Pendakian kali ini, saya berniat tek-tok (mendaki tanpa camping) karena besoknya saya harus masuk kerja. Pukul 06.00 waktu setempat, saya mulai mendaki. Jalur di gunung ini terbilang mudah dan saya tidak membawa carrier berat, hanya membawa air minum dan makanan ringan saja.
Perjalanan dari basecamp menuju pura satu memakan waktu sekitar 45 menit. Yang unik, di gunung ini tidak ada pos seperti gunung-gunung yang lain. Pos di sini diganti dengan bangunan pura sebagai titik supaya mudah memperkirakan estimasi waktu perjalanan.
Jalur yang sebelumnya memiliki kemiringan yang cukup curam, kini berubah menjadi lebih landai setelah melewati pura pertama. Namun, saat mendekati pura kedua, jalur tiba-tiba menjadi terjal dan curam. Perjalanan dari pura pertama ke pura kedua memakan waktu sekitar satu jam karena kami memutuskan untuk berjalan santai tanpa terburu-buru mengejar matahari terbit.
Gunung ini bisa dikatakan masih alami karena sepanjang jalur, saya melihat rumput dan pohon yang masih sangat lebat. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa saya sangat ingin mengunjungi gunung ini.
Setelah berjalan sekitar satu setengah jam dari pura kedua, kami akhirnya mencapai puncak. Seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, gunung ini masih sangat alami. Bahkan di puncaknya, masih banyak pohon yang tegak berdiri. Ternyata, tidak hanya terdapat pura pertama dan kedua di sana. Di puncak juga terdapat pura yang cukup besar.
Dari pengalaman ini, saya menyimpulkan bahwa masyarakat setempat tidak hanya menjaga keindahan alamnya, tetapi juga menjadikannya sebagai tempat ibadah sehingga pohon dan rumput masih bisa tumbuh dengan bebas.
Perjalanan Pulang
Setelah selesai mengambil foto, kami memutuskan untuk turun dan segera pulang untuk beristirahat karena besok kami harus masuk kerja. Namun, kami merasa aneh karena jalan yang kami lewati turun terasa berbeda dengan jalan naik sebelumnya. Kami terus berjalan dan beberapa kali kebingungan karena hanya berputar-putar di jalan yang sama.
Karena kelelahan dan kebingungan, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan berdoa bersama. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan dan akhirnya menemukan jalan yang sama seperti saat kami naik. Kami merasa heran karena waktu yang kami butuhkan untuk turun sama lama dengan waktu naik, padahal biasanya waktu turun hanya setengah dari waktu naik.
Demikianlah cerita singkat dari kami, semoga bermanfaat bagi Anda yang ingin mendaki gunung. Jangan lupa untuk selalu menjaga sikap, lisan, dan sopan santun. Mari kita menjelajahi tempat-tempat yang belum pernah kita kunjungi. Salam Literasi, Salam Lestari.